“Kamu beneran mau les disini, dek?” Papa menatap tajam ke arah ku.
Aku diam, lalu mengangguk dengan pasti. “iya, pa. Aku mau les disini.” papa
terdiam sebentar, lalu berkata. “ok, tapi kamu harus serius ya lesnya.” Aku tersenyum
lebar, dan mengangguk lagi, untuk lebih meyakinkan papa, kalau aku memang
benar-benar serius ingin mengikuti les.
Ya, inilah tempat
les ku yang baru. Aku menatap teman-teman baru ku. Mereka masih terlihat asing
di mataku. Tapi ada satu laki-laki yang memikat perhatian ku. Entah dia siapa.
Sedetik kemudian aku langsung merutuki diriku sendiri. “Ayolah Anna! Kamu harus
serius lesnya, kan kamu udah janji sama papa! Inget!” tapi entah setan apa yang
meracuni otakku, rasanya niatku untuk datang ke tempat les untuk mencari ilmu,
sudah berubah. Berganti hanya untuk melihat laki-laki itu.
Hari ke-2 les,
aku baru tau kalo namanya adalah Jojo. Aku langsung menceritakannya kepada ke
dua sahabatku, Maria dan Jeje. Aku menceritakan kepada mereka, bahwa Jojo itu
orangnya ganteng, gaya berpakaiannya keren. Tapi, kesini-sininya aku baru tahu,
kalo ternyata dia anaknya agak bandel, dan jarang sekali sholat. Ya, aku
sedikit kecewa. Tapi aku cukup senang, karena dengan begini, aku jadi lebih
fokus kepada pelajaran.
Hari-hari telah
berlalu, tidak ada yang berubah. Aku jadi tahu sekarang karakter teman-teman ku
di tempat les. Yang aku tahu sekarang, anak laki-laki di kelas ku, benar-benar
seperti ibu-ibu rumpi, tidak pernah berhenti mengobrol, rasanya kepalaku sakit
kalo mendengar mereka mengobrol, bawaannya pusing. Tapi ada satu laki-laki yang
hanya diam memperhatikan guru, dan kalau guru itu bertanya, dia bisa
menjawabnya, tidak seperti yang lainnya. Dan baru aku tahu, kalau dia namanya
adalah Madani. Sebelum-sebelumnya, aku tidak pernah memperhatikannya, tapi
makin kesini, aku semakin memperhatikannya. Sepertinya, aku suka kepadanya, ah
tapi mungkin aku hanya mengaguminya saja.
Entah ini sudah
kepertemuan yang keberapa, tapi perasaan ku kepada Madani tidak kunjung hilang,
malah makin menambah. Ternyata dia menjadi perhatian para guru di tempat les,
memang aku iri. Tapi ada rasa kagum, bangga, dan ada sesuatu perasaan yang
sulit aku jelaskan. Rasanya, wajar-wajar saja kalau dia menjadi perhatian para
guru di tempat les, karena dia memang tergolong pintar. Dia duduk di belakang,
di barisan ku, rasanya aku tidak henti-hentinya menengok ke belakang, hanya
untuk melihatnya. Entah karena apa, aku masih belum mengerti.
Bel istirahat di
tempat les akhirnya berbunyi, aku dan teman-teman ku pergi untuk membeli
makanan. “gue kesel banget, sama anak laki-laki di kelas kita. Mereka tuh berisik
banget, mending pada pinter, dableg iya.” Ratri seperti menumpahkan
kekesalannya yang sedaritadi dia tahan. “Hahaha, Ratri dalem banget ngomongnya.
Kasian banget mereka dibilang dableg.” Sahut ku, sambil menahan tawa karena
mendengar ocehan Ratri yang asal ngomong itu. “Tapi, mendingan Madani ya, Na.
Dia sih ketahuan, udah pinter, nggak banyak ngomong lagi.” Lanjut Ratri.
Mendengar kata-kata itu, rasanya pipi ku langsung memanas. Untung aku mengambil
jadwal les malam, setidaknya pipi ku yang memerah ini tidak terlihat olehnya.
Bel masuk
berbunyi, pelajaran akhirnya dilanjutkan kembali. Aku melihat sekilas ke arah
Ratri, Ratri menengok ke belakang, setelah aku mengikuti pergerakan matanya,
akhirnya aku tahu, kalau yang dia lihat adalah Madani. Rasanya ada sesuatu yang
menyakitkan menyelinap masuk ke hati ku. Tapi entahlah, aku berusaha
menyingkirkan sesuatu yang berbau negatif yang memasuki hati dan pikiran ku.
Aku datang
pagi-pagi ke sekolah seperti biasanya, menunggu Maria dan Jeje di depan kelasku,
sambil melihat ke arah lapangan yang begitu sepi. Hanya satu atau dua orang
yang baru datang, kelas ku memang menghadap lapangan, jadi kalau sudah berdiri
di depan pintu, akan langsung kelihatan lapangan dan gerbang masuk ke sekolah.
Sepertinya keberuntungan jatuh di tangan Maria, aku melihatnya jalan dari
gerbang melewati lapangan, sontak saja aku memanggilnya dengan keras. “Mariaaaaaaaa.”
Mendengar teriakan ku, Maria spontan langsung melihat ke arah ku, dia
melambaikan tangan ke arah ku. Aku berlari ke arahnya, akan aku ceritakan
kejadian tadi malam kepadanya.
“hmm, gitu ya.
Kalau menurut gue sih Na, wajar aja kalau banyak yang suka sama Madani, ya kan
Madani pinter.” Aku menceritakan kejadian semalam kepada Maria. Aku merenungkan
kata-kata Maria, aku setuju dengan kata-katanya, tapi sepertinya ada yang
ketidaksukaan yang mengganjal hati ku, ada ketidakrelaan saat aku mendengar
itu.
Hari ini jadwal
aku les lagi, rasanya ada semangat yang tidak bisa dilukiskan. Aku mengkhayal
bagaimana nanti aku bisa berteman dekat dengan Madani. Tapi, yang namanya
khayalan hanya sebuah khayalan. Aku bisa apa?
“Pokoknya, nanti gue
mau ngumpetin sendalnya Anna, pas Anna lagi sholat maghrib.” Seru Runi saat
pelajaran di tempat les sedang berlangsung. Aku menengok ke arahnya. “Niat
banget.” Jawabku sambil melihat ke arahnya. “Ya, pokoknya gue harus bisa.” Dia
tetap bersikeras untuk melakukan aksi jahilnya. Aku hanya mengangkat bahu.
“coba aja.” Jawab ku santai sambil memeletkan lidah ke arahnya.
Bel istirahat
berbunyi tepat saat adzan maghrib berkumandang. “oh iya, aku nggak bawa
mukena.” Seru Nisa yang berada tepat di sebelah ku. “Anna juga gak bawa, Nis.”
Sahutku santai, memang sudah biasa aku tidak membawa mukena, aku memakai mukena
yang ada di mushola. “kalo gitu, ayo cepet ke mushola, nanti keburu rame.” Nisa
menarik tangan ku. Aku sedikit bingung, tapi aku hanya mengikutinya saja.
Ternyata benar, mushola sudah ramai. “kalau kayak gini sih, harus ngantri
mukenanya.” Gumamku. Langsung saja aku mengambil air wudhu, tapi ternyata Runi
sudah mengambil air wudhu duluan, entah kapan, dan sekarang sudah mulai sholat.
Karena harus mengantri mukena, akhirnya Runi selesai sholat duluan. “kalau
kayak gini sih, bisa-bisa sendalku benar-benar diumpetin sama dia.” Gerutuku
kesal.
Selesai sholat,
aku mencari sendal ku yang hilang dari tempat yang seharusnya dia berada. “wah,
beneran diumpetin nih.” Gumamku. Aku melihat Runi, Aisyah, Ina, dan lain-lain
berdiri tidak jauh dari ku, mereka terlihat sedang menahan tawa saat melihatku
kebingungan mencari sendalku. “wah, ini pasti kerjaannya Runi. Run, mana
sendalnya Anna?” tanyaku sambil menatap ke arahnya. Dia hanya tertawa melihat
ekspresi bingung di wajah ku. “Cari aja sendiri.” Jawabnya santai. Aku sedikit
kesal, tapi merasa lucu juga. Akhirnya, satu sendal ketemu di atas tong sampah.
“satunya lagi ada dimana, Run?” tanyaku dengan tatapan pura-pura sedih. “hmm,
dimana ya? coba aja cari di tong sampah.” Kata Runi yang entah mengapa aku
turuti begitu saja. Aku buka tong sampahnya, aku lihat kedalamnya, tapi nihil,
tidak ada. “eh, Runi, dimana?” tanyaku yang sekarang malah sedih beneran. “itu
tuh, di belakang tong sampah.” Sebuah suara yang familiar ditelinga ku,
memberitahu ku. Aku menengok ke arahnya. Deg! Madani? Aku merasa, mukaku benar-benar
memanas. Aku mengikuti perintahnya, dan akhirnya aku menemukan sepasangnya
lagi. Ah, syukurlah. “nggak bilang makasih?” tanyanya sambil senyum-senyum
tidak jelas. Aku bingung harus ngomong seperti apa, dan aku tidak tahu kenapa
dia senyum-senyum sendiri, tapi jantungku berdetak begitu cepat. “Ah, iya.
Makasih ya.” jawabku, sambil cepat-cepat pergi dari hadapannya.
Aku masih tetap
memikirkan kejadian kemarin. Rasanya, hanya dengan seperti itu saja sudah
membuat ku merasa senang. Apa jangan-jangan... ah, aku langsung menepis pikiran
itu jauh-jauh, aku tidak mau kegeeran duluan, walaupun ada sedikit harapan yang
muncul.
Hari ini aku
begitu bersemangat. Ya, hari ini aku les lagi. Tidak sabar apa yang akan terjadi
di tempat les nanti. Sebenarnya, aku berniat ingin meminta nomor telpon, atau
nama twitternya Madani. Tapi entahlah, semoga keadaan nanti mendukung.
Pelajaran
pertama, BIP. Kami di suruh untuk mengisi kertas angket. Banyak anak laki-laki
yang tidak membawa pensil. Akhirnya, kakak pengajarnya meminjamkan pensil ke
mereka, kecuali Madani. Sebenarnya, Madani juga tidak membawa pensil, tapi
kakak pengajarnya sudah kehabisan pensil untuk dipinjamkan. Madani terlihat
bingung. “Apa ada yang punya pensil lagi? Nih, temen kamu ada yang nggak bawa
pensil.” Seru kakaknya ke kami semua. Mendengar itu, cepat-cepat aku keluarkan
pensil dari tempat pensil ku. Aku menyodorkannya kepada Madani. Madani
tersenyum kepada ku. Ah, lagi-lagi senyum itu cukup membuat kaki ku lemas.
Pelajaran
selanjutnya adalah Matematika, aku cukup mengerti kalau kak Sahid sedang
menerangkan. Di sela-sela pelajaran, kak Sahid memecah keheningan di kelas ku.
“Madani? Kamu punya fans di kalangan adek kelas ya?” Madani mendongak bingung.
“hm, nggak tau deh kak.” Jawabnya sambil terlihat salah tingkah. “Itu tadi, ada
anak kelas 8 yang nanya ke kakak, dia bilang gini ke kakak. ‘kak? Kakak kenal
kak Madani nggak?’pokoknya dia nanya-nanyain tentang kamu deh.” Aku menajamkan
pendengaran ku. “Ah? Siapa kak? Siapa?” tanya Madani dengan antusias. Rasanya
ada petir yang menyambar ke arah ku. Seperti Deja Vu. Sepertinya, ada seseorang
yang seperti itu dulu. Dan aku ingat, Madani mirip sekali dengan seseorang yang
dulu pernah dekat dengan ku. Aku meremas-remas tanganku. Aku benar-benar tidak
semangat, entah karena dia punya banyak fans, atau karena dia mirip dengan
seseorang yang dulu pernah dekat dengan ku.
Aku pikir
pulangnya dia akan lupa kalau dia meminjam pensil ku, ternyata tidak. “makasih
ya pensilnya.” Dia mengatakan 3 kata itu dengan sebuah senyuman. Entah apa yang
aku rasakan sekarang, antara senang, sedih, kesal, gembira, dan lain-lain,
semuanya bercampur menjadi satu.
Sampai di rumah, aku merenungkan semuanya di kamar. Memikirkan kejadian-kejadian yang tadi dan kemarin. Aku merasa sedih, akhirnya aku tidak mendapatkan apa-apa. Tidak mendapat nomor telpon atau pun nama twitternya Madani. Aku menghela nafas berat. Beberapa menit kemudian, aku sadar, kalau hanya dengan melihat senyum Madani saja aku sudah senang. Rasanya aku lelah sekali dengan semua yang sudah aku alami. Tapi aku tidak menyesal les disitu. Aku senang, banyak teman-teman yang menyenangkan disitu. Dan sekarang aku sadar, kalau aku tidak bisa berharap banyak. Mulai sekarang, aku hanya akan mengandalkan takdirku. Aku tidak akan pernah menyesal apa pun takdir yang akan aku alami.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar